Sabtu, 04 September 2010

Mesir; Menuju Pendidikan Modern Dalam Sebuah Masyarakat Revolusioner

A.      Peralihan Pendidikan

Pergulatan ini bukan hanya mencerminkan pendidikan sebagai masalah politik dalam masyarakat, tetapi juga segala kerumitan dalam mengubah sistem pendidikan yang menyimpang menjadi sistem yang sesuai dengan persyaratan modernisasi. Sejak 1952 pemerintah revolusioner berusaha menyusun kembali sistem pendidikan agar sesuai dengan tujuan ekonomi, sosial, dan politiknya. Bagaimana perbaikan dilakukan, termasuk pembenahan struktural untuk mengatasi hambatan yang ada dan membuka ikatan di antara komponen yang sampai sekarang terpisah, serta mengutamakan pelatihan ilmiah, kemahiran khusus, dan keahlian teknis. Yang juga perlu dicatat adalah ledakan perluasan peluang pendidikan bangsa arab yang telah mempersatuhkan struktur dan kurikulum sekolah mesir dengan di Negara-negara arab yang lain. Mesir sedikit banyak memiliki kesamaan tujuan dan struktur pendidikan dengan Negara-negara arab lainnya, dan mengahadapi permasalahan yang sama pula.

Dunia politik saat itu juga mempengaruhi pendidikan yang dibuktikan oleh arus perubahan pendidikan sejak tahun 1952, karena jenis-jenis perubahan yang dipakai dalam sejarah mesir beberapa dekade terakhir. Perubahan yang dilakukan dalam periode ini salah satunya mengurangi perpecahan antara sekolah dasar dan sekolah pemula, misalnya, uang sekolah dihapuskan dan lulus sekolah dasar diperbolehkan mengikuti ujian sekolah pemula. Tahun 1953 pemerintah menetapkan UU no.210 tentang sekolah pemula diumumkan secara resmi. UU no.213 tahun 1956 memperpanjang masa pendidikan sekolah dasar dari 4 tahun menjadi 6 tahun, dan memberikan kenaikan otomatis (jika siswa mengikuti 75% kelasnya), tidak seperti sebelumnya yang kenaikan melalui ujian, dan mengubah kurikulum dengan memasukkan pelajaran kesehatan, ekonomi dan sosial.

Tahap pertama ini merupaka upaya perencanaan dan dibuat sebuah rencana nasional yang terdiri dari proyek-proyek utama selama tahun 1955-1960. Dibidang pendidikan target umumnya adalah penerimaan murid sekolah pemula secara menyeluruh dalam waktu 10 tahun, pembedaan dan peningkatan kemajuan pendidikan setelah tingkat pemula dengan menekankan pada pendidikan teknik dan kejuruan, serta perbaikan mutu di bidang-bidang seperti kurikulum, pelatihan guru, dan administrasi pendidikan.

Namun, rencana ini belum dimulai sampai tahap kedua, ketika idiologi muncul dan perkembangan program sosialis secara perlahan-lahan disertai dengan penekanan pada rasionalisasi, politisasi sekolah, dan upaya untuk menghubungkan kebijakan pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. Berbagai lembaga administratif dan koordinasi termasuk Dewan Tertinggi untuk Perencanaan Nasional dan Komisi Perencanaan Nasional dibentuk, dan tahun 1960 Institusi Perencanaan Nasional didirikan yang fungsinya sebagai lembaga penelitian dan pelatihan.

Tahap ketiga, atau “fase sosialis”, menyaksikan upaya pertama yang terpadu dan sistematis perubahan radikal, tetapi banyaknya bidang membuat permasalahan yang pada akhirnya memperlambat langkah pembangunan tahun ’50-an, terutama kegagalan dalam menciptakan partai politik yang efektif dan terpadu, menghidupkan birokrsi yang lamban, pengembangan serta menerapkan program yang dinamis untuk menggerakkan sumber-sumber yang terbatas dan memanfaatkan tenaga penduduk. Selain itu banyaknya konflik internal maupun eksternal mengakibatkan perhatian para pembuat kebijakan tidak akan terfokus pada pendidikan.

Upaya yang mempersulit perkembangan pendidikan adalah kelemahan perencanaan tahun ’50-an dan ‘60-an. Meskipun perumusan dan penerapannya lebih canggih dan lebih ahli, persiapan rencana 10 tahun ini menciptakan masalah serius bagi pengelola dan perencana pendidikan. Kesulitan paling nyata adalah kurangnya dasar statistik yang memadai. Hal ini terjadi ketika pada tahun 1960 melakukan sensus penduduk dan data ini tidak terpublikasikan selama 2 tahun. Karena kelemahan inilah yang kemudian menimbulkan data yang diperoleh tidak dapat terpublikasikan, secara tidak langsung ini membuat pemerintah tidak dapat mengidentifikasi kebutuhan tenaga kerja.

Hal ini kemudian membuat sebuah keyakinan bahwa pendidikan memerlukan proses peralihan (transformasi) penuh, tujuan rencana pendidikan 5 tahun ketiga (1970-1975) yang saat ini sedang diterapkan, pada dasarnya sama dengan rencana sebelumnya. Ini meliputi penyeragaman pendidikan pemula, perpanjangan masa wajib sekolah dari 6 tahun menjadi 9 tahun bagi semua lulusan sekolah pemula yang ingin masuk sekolah persiapan, pengembangan pendidikan kejuruan, teknik dan ilmiah, pendirian kembali pendidikan swasta, peningkatan standart dengan cara menyediakan yang lebih layak, dan pengukuhan serta perluasan program pelatihan guru sebelum dan saat bertugas.

Pada perkembangannya, upaya keras yang dilakukan agar setiap anak memperoleh pendidikan pemula mengalami peningkatan sejak dekade pertama saat itu. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi semua kekurangan ini, termasuk program untuk meningkatkan mutu guru, memperkenalkan kurikulum baru, dan mempersiapkan buku pengangan bagi guru untuk menjelaskan tujuan pelajaran, cara mengajarkan, serta cara membangkitkan dan mempertahankan minat siswa pada beberapa pelajaran sebagai materi latihan tanpa harus meninggalkan tugas mengajar.

Berbagi perubahan yang dilakukan dalam pendidikan ini pada akhirnya mempersiapkan siswa untuk masuk kejenjang lanjutan serta menjadi tenaga kerja yang nantinya dapat mengisi posisi dalam dunia industri.

 

B.      Pendidikan Tinggi Mesir

Berangkat dari sebuah permasalahan yang ada kemudian menjadikan sebuah tekanan politik di tingkat universitas adalah salah satu indikasi perhatian pemerintah baru dalam pendidikan tinggi yang dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam tujuan nasional.

Dalam perjalananya Al-azhar menjadi sebuah lembaga yang dipolitisasi oleh kebijakan pemerintah pada tahun 1961. Yang mana al-azhar sebagai lembaga yang hanya sangat konservatif mulai dimasuki dengan pendidikan gaya modern yang mencobah untuk menyingkirkan sebuah kesenjangan, sehingga  lulusan al-azhar dengan lembaga lain dapat menikmati pendidikan dan peluang kerja yang sama.

Al-azhar menjadi sebuah institusi yang modern dengan pengajar dan pengelola baru. Kekuasaan bealihkan dari golongan konservatif ke orang-orang pemerintahan yang diangkat dan posisinya diperkuat dengan ditambahnya beberapa fakultas baru pada tahun 1968 seperti, hukum, teknik mesin, kedokteran, bisnis dan administrasi, dst, yang kesemuanya dalam pengajarannya menggunakan bahasa inggris.

Selain itu pemerintah menyediakan subsisi silang dengan memberikan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu untuk melanjutkan kejenjang perguruan tinggi ini, selain itu pemerintah juga mengizinkan siswa luar yang ingin menimbah ilmu diinstitusi-institusi yang ada di mesir, termasuk al-azhar.

Ledakan jumlah siswa yang diterima sejak tahun 1950 telah mengakibatkan kurangnya tenaga pengajar yang bermutu dan beban mereka menjadi berlebihan dan bersama dengan itu membawah akibat yang patut disayangkan pada mutu pendidikan. Selain mutu pendidikan, kesejahteraan guru-guru yang ada pun kurang begitu diperhatikan sehingga banyak guru yang mencari tambahan dengan bekerja diluar jam pelajaran.

Sehingga untuk memperoleh pendidikan dengan mutu yang baik masih jauh dari harapan, jadi tidak heran kalaulah lulusan yang ada minim pengalaman dalam dunia kerja.

 

C.      Pendidikan mesir dewasa ini

Kerjasama pendidikan antara mesir dengan negara-negara arab dipermudah hanya karena persamaan bahasa dan budaya mereka, melainkan juga persamaan aspek struktur dan fungsional dalam pendidikan dunia arab. Secara administratif, struktur pendidikan di seluru negara tersebut nyaris sama. Terlepas dari beberapa variasi yang lebih detail, persamaan pola itu adalah salah satu sentralisasi yang luar biasa, kementerian pendidikan memberlakukan pengawasan yang nyaris dictator terhadap seluru aspek pendidikan. Secara umum semua memiliki tenggung jawab utama dalam menggelolah dan pengawasan, serta pemeliharaan sarana.

Desentralisai dalam dunia pendidikan yang terjadi pada negara-negara arab khusunya mesir ini tidak membawah hasil seperti yang diharapkan. Pola lazimnya adalah lembaga regional yang baru akan menjadi replica (tiruan) lembaga nasional dan fungsinya dengan cara yang sama. Karena itu dalam prakteknya badan-badan setempat memperhatikan persamaan prilaku; mereka cenderung memusatkan wewenang di tangannya dan secara membuta melaksanakan perintah dan aturan menteri pendidikan. Mereka jarang menunjukkan insiatif untuk memenuhi kebutuhan setempat, menyesuaikan kebijakan nasional dengan keterbatasan setempat, atau melibatkan penduduk setempat dalam proses pendidikan.

Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan yang terjadi di negara-negara arab. Baik dalam hal kualitas dan kuantitas pendidikan antara sekolah yang ada di desa dan kota. Kualitas sekolah di desa hampr selalu lebih rendah dari kota dan seringkali memberikan pelajaran kelas satu sampai empat, sedangkan sekolah yang menawarkan sampai kelas enam hanya terbatas, sehingga mereka yang harus pindah sekolah kalau ingin lulus. Untuk pindah harus membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga banyak anak yang putus sekolah.

Hal ini juga terjadi pada pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, sehingga hal ini menjadi sebuah proyek yang bersifat ambisi pribadi untuk masuk pada pendidikan yang lebih tinggi tanpa memandang latar belakang lembaga pendidikan itu, baik dari segi fasilitas maupun SDM.

Sehingga dapat dicirikan pendidikan di negara-negara arab, antara lain;

1.       1. Pertumbuhan minat tidak diimbangi dengan tenaga pengajar yang bermutu.

2.       2. Minimnya upah yang diberikan pada Profesor, sehingga tidak menjadi hal yang tabuh kalau professor mencari tambahan lain selain mengajar.

3.       3. Pendidikan tinggi masih secolastis (terpaku pada pelajaran dikelas), dan mutunya sangat rendah.

4.       4. Struktur administrasi yang belum terrencana dengan baik.

5.       5. Universitas berinteraksi secara erat dengan masyarakat tempat menjadi bagianya.

6.       6. Universitas arab adalah lembaga pendidikan yang terpenting; penelitian hanya dapat dilakukan di perguruan tinggi.

7.       7. Gengsi universitas di kalangan mahasiswa tinggi, sedangkan di kalangan pengajar sebaliknya. 

Secara umum ketidakmampuan untuk menyesuaikan out put dengan kebutuhan SDM, inilah yang menyebabkan banyaknya cendekiawan yang ada memilih untuk hijrah demi memperoleh kehidupan yang layak.

1 komentar: