Jumat, 16 Juli 2010

DEMOKRATISASI PENDIDIKAN ISLAM

DEMOKRATISASI PENDIDIKAN ISLAM

Oleh :

Muchammad Suradji

 

 

Pra wacana

Membicarakan pendidikan seakan tidak pernah ada pangkal ujungnya. Demokrasi meupakan salah satu topic yang menjadi debatebel dalam dunia pendidikan ini. Demokrasi di bidang pendidikan merupakan suatu keharusan agar dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokratis.[1] Reformasi pendidikan melalui demokrasi pendidikan, menurut zamroni dapat dibegi dalam tiga aspekpendidikan, yaitu regulatori, profesionalitas, dan manajemen.[2] Aspek regulatori dititik beratkan pada reformasi kurikulum yang berkaitan dengan perumusan tujuan pendidikan, penerapan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum), pengesahan paradigma kerja guru dari responsibility kearah accountability, dan pelaksanaan evaluasi dengaan esai dan portopolio. Aspek profesionalitas ditujukan untuk mengembalikan hak-hak dan wewenang kepada guru dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Aspek ini dapat ditempuh melalui pengembangan kesadaran hak-hak politik guru dan pemberian kesempatan kepada guru untuk mengembangkan dirinya.

 

A.    Demokrasi dan Pendidikan

Pendidikan berbasis masyarakat adalah bagian dari wacana demokrasi pendidikan, maka pada bagian ini terlebih dahulu dikemukakan hubungan demokrasi dengan pendidikan. Demokrasi berasal dari Yunani, demos (rakyat) kratos (pemerintahan). Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dewasa ini, demokrasi telah diterima oleh hampir seluruh bentuk pemerinntahan di dunia.

Menurut masykuri Abdullah, demokrasi memiliki tiga unsur utama, yaitu; adanya kemauan politik dari Negara, adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik, dan adanya civil society yang kuat dan mandiri.[3] Ketiga unsur itu diproses dalam sebuah Negara yang menjamin adanya kekuasaan mayoritas, suara rakyat dan pemilihan umum yang bebas dan bertanggung jawab.[4] Selain itu, demokrasi juga memiliki dua norma baku yang berlaku bagi setiap bentuk  “demokrasi”, public accountability (pertanggungjawaban  kepada rakyat) dan contestability (uji kesahihan apakah demokrasi itu bercermin kepada kehendak bersama atau nama kepentingan lain).[5]

Oleh karena itu, demokrasi dalam arti modern, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno, sering dipahami sebagai sebuah sistem politik yang melembagakan control terhadap pemerintah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), serta kewajiban pemerintahan untuk memberi pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat melalui sistem perwakilan.[6] Jadi, di dalam demokrasi modern terdapat dua kategori prinsip, yaitu prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip pertanggungjawaban melalui perwakilan.

Demokratisasi adalah proses menuju demokrasi. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan sarana paling srtategis bagi penciptaan demokratisasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, cara paling srtategis “mengalami demokrasi” (experiencing democracy) adalah melalui apa yang disebut sebagai democracy education. Pendidikan demokrasi dapat dipahami sebagai sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan.[7]

Selanjutnya Azra menegaskan bahwa, dalam banyak hal, pendidikan demokrasi identik dengan “pendidikan kewargaan” (civic education), meskipun pendidikan kewargaan lebih luas cakupannya daripada pendidikan demokrasi. Namun yang jelas, keduanya berupaya menumbuhkan civic culture dan civility di lingkungan pendidikan, yang pada gilirannya akan menjadi kontribusi penting bagi pengembangan demokrasi yang baik dan otentik pada Negara-bangsa Indonesia.[8] Sejalan dengan pendapat Azra, ‘Syafi’I Maarif mengemukakan bahwa proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi kiranya dapat dilakukan melalui proses pendidikan. Dalam kaitan ini, perwujudan sistem pendidikan yang demokrasi merupakan keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan.[9]

Demokratisasi pendidikan mengandung arti proses menuju demokrasi dalam bidang pendidikan. Demokratisasi pendidikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu “demokrasi pendidikan” dan “pendidikan demokrasi”. Demokrasi pendidikan, sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini, dapat diwujudkan di antaranya melalui penerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan nasional. Demokrasi pendidikan lebih bersifat politis, menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan di tingkat nasional. Apabila demokrasi mulai diterapkan dalam pendidikan, maka pendidikan tidak akan menjadi alat penguasa. Rakyat atau masyarakat diberikan haknya secara penuh untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan nasional. Semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pendidikan. Inilah yang disebut demokrasi pendidikan Kartini Kartono.[10]

Adapun pendidikan demokrasi berkaitan dengan bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan di tingkat lokal.[11] Di dalam pendidikan demokrasi, proses pembelajaran di kelas dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keadaban. Fungsi pendidikan dalam proses pembelajaran yang demokratis adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidikan harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidikan harus berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidikan harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidikan harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.

Pendidikan demokrasi menuntut adanya perubahan asas subject matter oriented menjadi student oriented. Proses pendidikan selama ini terkesan menganut asas subject matter oriented, yaitu bagaimana membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Dengan orientasi seperti ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil, tetapi kepandaian dan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik.

Suasana pendidikan yang demokrasi senantiasa memerhatikan aspek agalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidikan dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down, namun diimbangi dengan bottom up. Tidak ada lagi pemaksaan kehendak dari pendidik, tetapi akan terjadi tawar-menawar di antara kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, dan evaluasi hasil belajarnya. Dengan komunikasi structural dan cultural antara pendidikan dan peserta didik, akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggungjawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri, asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. peserta didik bukan saja memahami demokrasi, tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting diskusi.

Pendidikan umum lebih bisa menerapkan system demokrasi, dibandingkan dengan pesantren pada masa awal pendidikan yang ada dibangsa ini. Dalam pesentresn semu tersentral pada peran seorang kiyai atau ulama yang menjadi pengasuh dalam pesentran tersebut.

System sentralisai yang ada dalam pesentran seperti pendidikan awal di bawah kekuasaan rezim orde baru yang semua tersentral dalam satu muara. Hal itulah yang kemudian menuntut lembaga pendidikan untuk lebuh kreatif dalam menterjemahkan sebuah karakteristik lembaga pendidikan.

B.     Hubungan Pendidikan dan Masyarakat

Masyarakat adalah sebuah miniature kecil dari sebuah negara. Pada dewasa ini hampir setiap kegiatan kehidupan masyarakat selalu dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan. Sejak bangun di pagi hari hingga istirahat kembali di malam hari, tampak adanya nilai pendidikan. Oleh karena itu, sulit dipisahkan antara pendidikan dengan kehidupan masyarakat. Hanya saja model pendidikan yang bagaimana yang dapat mendidik masyarakat menuju kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban mereka. Sebab, dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang tidak menyatu dengan masyarakat justru menimbulkan macam-macam pendidikan yang tidak mendidik. Tata kehidupan masyarakat banyak yang hancur-hancuran. Oleh karena itu, perlu dihubungan secara harmonis antara pendidikan dan masyarakat. Pendidikan membutuhkan masyarakat, demikan pula sebaliknya masyarakat membutuhkan pendidikan.

Dalan undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari dan oleh masyarakat.[12] Dalam kajian demokrasi pendidikan, pendidikan berbasis masyarakat ini dapat dipahami sebagai sebuah alternatif untuk ikut serta memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ditangani pemerintah, dengan cara melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas. Masyarakat dilibatkan untuk memahami program-program yang dilakukan dunia pendidikan dengan tujuan agar mereka termotivasi untuk bisa memberikan bantuan yang maksimal terhadap terlaksananya program-program pendidikan tersebut. Bantuan yang dimaksud misalnya masyarakat termotivasi untuk memasukkan putra-putrinya ke sekolah atau madrasah, memberikan bantuan financial (uang atau material) tanpa diminta pihak sekolah. Masalah-masalah yang dihadapi sekolah, madrasah atau perguruan tinggi dapat dipecahkan bersama dengan masyarakat. Masalah yang dihadapi lembaga pendidikan seperti yang menyangkut siswa/mahasiswa, guru/dosen, perlengkapan, keuangan dan perumusan tujuan sekolah, madrasah atau perguruan tinggi dapat diatasi bersama-sama dengan masyarakat. Berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat seperti lapangan olahraga, gedung pertemuan, masjid, bengkel kerja, tempat-tempat kursus keterampilan, sumber daya manusia dan lain sebagainya dapat diakses dan diman-faatkan oleh lembaga pendidikan, tanpa harus membayar.[13]

Pendidikan berbasis masyarakat juga tidak dapat dipisahkan dari pandangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat sosial. Berbagai komponen pendidikan, seperti visi, misi, tujuan, dasar, kurikulum, metode, guru yang dibutuhkan, evaluasi, lulusan, sarana dan prasarana pendidikan harus dirancang sesuai kebutuhan masyarakat. Quraish Shihab berpendapat bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. Ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.[14]

Pendidikan berbasis masyarakat juga sejalan dengan pandangan mengenai dasar pendidikan Islam. Para ahli pendidikan Islam sepakat, bahwa selain berdasar kepada al-Qur’an dan al-Hadits pendidikan Islam juga berorientasi pada masyarakat seperti umumnya pendidikan lain. Karena itu masyarakat juga menjadi dasar bagi pembentukan konsep-konsep pendidikan Islam dan pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian tersebut, bahwa pendidikan berbasis masyarakat tersebut pada intinya adalah bahwa pendidikan harus dikelola secara demokratis dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, yakni pemerintah, sekolah dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya termasuk kalangan masyarakat industri, pengusaha, pengacara, dokter, birokrat, para bankir, dan seterusnya, atas dasar tanggung jawab moral dan panggilan niat semata-mata karena Allah. Dengan dasar tanggung jawab dan niat yang demikian itu, maka pelaksanaan konsep pendidikan berbasis masyarakat tersebut dengan sendirinya akan terlaksana. Pelaksanaan konsep ini dapat dinilai sebagai terobosan baru untuk merubah keadaan masyarakat yang selama ini hanya menunggu dikasihani, daripada merubah kedaannya sendiri. Mereka harus berani merubah sikap dan berkorban demi pendidikan putera-puteri bangsa, sebagai panggilan iman yang tertanam di dalam jiwanya.

C.    Pembelajaran Dalam Konteks Masyarakat

Pendidikan yang ada sekarang diharapkan dapat lebih ditekankan bagaimana pendidikan lebih bisa di arahkan pada pengimplementasi yang nyata dalam masyarakat. Pembelajaran dalam pendiddikan pada dasarnya, mempunyai tujuan agar pembelajar dapat meningkatkan mutu hidupnya sebagai mahluk Allah baik individu maupun sosial. Sebagai individu seseorang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kreatif dan inovatif dalam menghadapi segala tantangan yang menghadang. Dalam keadaan apapun dan dimana pun tetap eksis sebagai individu yang berkepribadian. Belajar merupakan bekal penting bagi seorang individu agar mampu mewujudkan hal-hal di atas.

Sebagai mahluk sosial, pembelajar harus mampu menjalin hubungan harmonis yang dapat saling melengkapi atas segala kekurangan yang ada pada salah satu pihak. Pemahaman ini perlu diperdalam dan diperluas dalam kajian-kajian ilmu keagamaan. Kehidupan masyakat menjadi familier dan terhayati dalam kehidupan setiap manusia. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan di samping membekali lulusannya dengan penguasaan materi bidang studi juga memberikan pemahaman tentang kaitan antara materi dan dunia nyata yang tumbuh dalam masyarakat. Dengan demikian, pembelajaran baik formal maupun informal diharapkan dapat memberi pengalaman bagi pesertanya sebagaimana dalam rekomendasi UNESCO 1996, learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together.

Dalam pendidikan Islam, pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat, bukanlah hal baru. Sejarah Islam telah mencatat, bahwa dengan panggilan iman yang mengharuskan setiap orang berilmu mengamalkan ilmunya telah mendorong timbulnya inisiatif masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan melalui lembaga-lembaga pendidikan yang amat bervariasi. Ahmad Syalabi menyebutkan lembaga-lembaga pendidikan itu sebagai berikut: al-Qashr, Manâzil al-Ulamâ, al-Badiyah, dan Madrasah.[15]

Adanya lembaga-lembaga pendidikan yang amat bervariatif tersebut membuktikan dengan jelas bahwa sejak dahulu, pemerintah dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya telah berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Pemerintah dan masyarakat betul-betul telah membangun kerjasama sinergi yang kompak dalam memajukan kegiatan pendidikan. Prinsip-prinsip pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan seumur hidup (long life education), pendidikan demokratis yang ditandai dengan adanya program yang disesuaikan dengan kesanggupan dan keinginan masyarakat, dan adanya otonomi yang luas bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan.

Keterlibatan, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam melakukan pendidikan juga dapat dijumpai pada masyarakat Islam di Indonesia. Jauh sebelum pemerintah mendirikan sekolah atau madrasah formal sebagaimana yang dijumpai sekarang ini, umat Islam di Indonesia sudah memiliki Surau, Langgar, Mushalla, Majelis Ta’lim, Masjid, dan Pesantren. Lembaga-lembaga tersebut secara keseluruhan dibangun atas dasar kemauan dan kesadaran masyarakat sendiri, dan digunakan selain untuk kegiatan ibadah dan kegiatan social keagamaan juga untuk kegiatan pendidikan.[16]

Hal tersebut menjadi bukti, bahwa masyarakat ternyata telah mampu mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan secara mandiri dengan lulusannya yang unggul. Melalui konsep pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana diuraikan di atas, kelihatannya pemerintah selain ingin berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola pendidikan kepada masyarakat, juga ingin menumbuhkan kembali kepercayaan dan kreativitas masyarakat dalam mengelola pendidikan. Dengan kata lain konsep pendidikan berbasis masyarakat tersebut pada hakikatnya kembali kepada konsep pendidikan yang pernah dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dengan cara demikian, kreatifitas, inovasi, gagasan, keadilan dan demokrasi pendidikan dengan sendirinya akan tumbuh di masyarakat. Di tengah-tengah situasi di mana kemampuan pemerintah amat terbatas, maka konsep pendidikan berbasis masyarakat merupakan alternatif yang perlu mendapat dukungan.

Dalam standards for science teacher preparation oleh NSTA tahun 1998 bekerjasama dengan The Association for the Education of teachers in science, dinyatakan bahwa salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh guru adalah konteks sosial.[17] Guru harus mengidentifikasi dan menggunakan sumber-sumber belajar dari luar sekolah (schooling). Pembelajaran kontekstual ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi pembelajar, partisipasi orangtua dan masyarakat di lingkungan sekolah tertentu. Departemen Pendidikan Nasional mencanangkan suatu pendekatan pembelajaran CTL (contextual teaching and learning) sebagai pembelajaran yang mengkaitkan antara materi dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong untuk diterapkan dalam kehidupan mereka sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan bangsa. Hasil CTL dapat meningkatkan prestasi belajar melalui pemahaman makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengaitkan dalam konteks kehidupan sehari-hari.

D.    Hambatan dan Dukungan

Setiap sebuah perencanaan tentunya ada sebuah efek yang menjadi dampak. Sebagaimana halnya konsep pada umumnya, konsep pendidikan berbasis masyarakat ini, sungguhpun memiliki basis historis, namun dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan di samping dukungan.

1.      Hambatan

Hambatan yang yang muncul berkenaan dengan pendidikan berbasis masyarakat ini paling kurang ada tiga hal sebagai berikut.

Pertama, dunia pendidikan pada umumnya sudah terbiasa dengan bantuan dari pemerintah. Berbagai masalah yang muncul dalam penyelenggaraan pendidikan seperti keterbatasan dana, gedung tempat berlangsungnya pendidikan, peralatan belajar mengajar, pengadaan guru, pengakuan ijazah, lapangan pekerjaan bagi lulusan pendidikan yang dihasilkannya, biasanya ditumpahkan kepada pemerintah. Inisiatif, kreatifitas yang dapat menghasilkan berbagai kebutuhan bagi penyelenggaraan pendidikan tersebut belum tumbuh secara merata dari masyarakat. Dengan kata lain, para penyelenggara pendidikan pada umumnya sudah terbiasa dimanjakan, sebagai akibat dari penanganan pendidikan di masa Orde Baru yang terpusat pada pemerintah.

Kedua, secara umum ekonomi masyarakat berada di bawah garis kemiskinan, sebagai akibat sulitnya lapangan kerja, tidak mampu bersaing, serta kurangnya kemampuan untuk memperbaiki ekonominya. Dalam keadaan yang demikian, amat sulit diharapkan adanya partisipasi ekonomi masyarakat dalam mendukung konsep pendidikan berbasis masyarakat.

Ketiga, secara umum para penyelenggara pendidikan kurang memiliki kemauan, kemampuan, keterampilan dan strategi dalam menggali dana dari masyarakat. Hal ini sebagai akibat kurangnya pengalaman serta kurang memiliki kemampuan kerjasama dengan orang-orang yang memiliki modal atau pihak-pihak para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan. Mereka misalnya kurang memiliki kemampuan menggali dana baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar.

2.      Dukungan

Di samping adanya hambatan sebagaimana disebutkan di atas, terdapat pula faktor dukungan yang dapat memperlancar pelaksanaan konsep pendidikan berbasis masyarakat. Dukungan tersebut, paling kurang juga ada tiga sebagai berikut.

Pertama, semangat keagamaan. Masyarakat Indonesia yang umumnya beragama Islam, meyakini bahwa bahwa setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan wajib mengajarkan kepada orang lain, walaupun ilmunya itu hanya sedikit. Selain itu mereka juga percaya bahwa membantu kegiatan di bidang pendidikan, pahalanya sama dengan berjidah di jalan Allah.

Kedua, bahwa dari sekian puluh juta masyarakat Indonesia yang beragama Islam, sudah banyak yang tergolong mampu dan berkecukupan dengan berbagai keahlian dan profesi yang beragam. Di antara mereka ada yang tergolong sebagai pengusaha besar yang berhasil, pejabat pemerintah yang memiliki kedudukan tinggi dan strategis, cendekiawan yang disegani, pengacara yang kondang, ketua atau anggota perlemen, dokter, ahli hukum, artis dan sebagainya. Mereka memiliki fasilitas yang melebihi kebutuhan hidupnya seperti rumah, tanah, kendaraan, pabrik, perusahaan, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Keadaan ummat Islam yang demikian merupakan kekuatan yang apabila didayagunakan dan diintegrasikan ke dalam dunia pendidikan, akan dapat membantu memperlancarkan pelaksanaan konsep pendidikan berbasis masyarakat tersebut. Banyak di antara mereka yang telah terjun ke dalam dunia pendidikan, dan dunia pendidikan yang didukung oleh mereka-mereka itu ternyata cukup maju dan menghasilkan lulusan yang unggul.

Ketiga, di kalangan masyarakat Islam sendiri saat ini sudah banyak yang berhasil menyelenggarakan pendidikan secara mandiri dengan hasil yang dapat dibanggakan. Banyak lembaga pendidikan Islam swasta yang cukup memiliki kredibilitas dan markatabel. Keadaan yang demikian itu dapat mendukung pelaksanaan konsep pendidikan berbasis masyarakat, manakala mereka mau membantu lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta lainnya yang belum maju. Jika faktor-faktor pendukung tersebut dapat didayagunakan secara optimal dan efektif, maka berbagai hambatan sebagaimana tersebut di atas, dengan sendirinya dapat diatasi. Persoalannya tinggal apakah ada kemauan, kesungguhan, kerja keras dan kebersamaan di antara umat dan bangsa Indonesia sendiri.

 

KESIMPULAN

 

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang sebagian besar keputusan kependidikannya ditentukan oleh masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan, mulai dari masalah input, proses, dan output pendidikan, hingga masalah pendanaan. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan hal yang urgen untuk dilakukan dalam rangka demokratisasi pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat secara politis merupakan perjuangan politik menuju transformasi sosial. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan bagian dari agenda pendidikan kritis yang senantiasa berupaya membebaskan pendidikan dari belenggu kekuasaan. Manakala pendidikan telah terbebas dari dominasi dan hegemoni kekuasaan, itu berarti demokratisasi pendidikan dapat diwujudkan.


 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Masykuri. “Islam Dan Masyarakat Madani”, dalam http// kompas.com/kompas %2Dcetak/9902/27/opini/isla/htm.

                                    . Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

Azra, Azumardi. “Pendidikan Kewarganegaraan Dan Demokrasi”, dalam http://www.kompas. com /%2Dcetak/0103/14/ Opini/pend04.htm.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. “Ketika Pendidikan Tidak Membangun Kultur Demokrasi” prawacana untuk Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, cet.I Yogyakarta: Bigraf, t.t

Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, Cet. I, 2001.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Keagamaan, Manajemen Sarana & Prasarana Madrasah Mandiri, Jakarta: t.p., 2001

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran WahyudalamKehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. II, 1992

Soseno, Frans Magnis. “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M.Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Eds), Agama dan Dialog Antar Peradaban, cet.I. Jakarta: Paramadina, 1996.

Syalabi, Ahmad. al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Nuzhumuha, Falsafatuha, Târîkhuha, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1987.

Usmas, Husaini. “Menuju Masyarakat Madani Melalui Demokratisasi Pendidikan” dalam www.depdiknas.go.id/jurnal/28/htm.

Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.20 Th. 2003), (Jakarta: Dharma Bakti, 2003

Wirosardjono, Sostjipto. “Demokrasi” dalam  Frans Magnis-Soseno,dkk., Dari Seminar Sehari Agama dan Demokrasi, cet. II.   Jakarta: P3M-FNS, 1994.

Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, cet I (Yogyakarta: Bigraf, t.t

 

 



[1] Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, cet I (Yogyakarta: Bigraf, t.t), 10-11

[2] Ibid, 127-130

[3] Masykuri Abdullah, “Islam Dan Masyarakat Madani”, dalam http// kompas.com/kompas %2Dcetak/9902/27/opini/isla/htm.

[4] Masykuri Abdullah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 73

[5] Sostjipto Wirosardjono, “Demokrasi” dalam  Frans Magnis-Soseno,dkk., Dari Seminar Sehari Agama dan Demokrasi, cet. II (Jakarta: P3M-FNS, 1994), 14-15

[6] Frans Magnis Soseno, “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M.Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Eds), Agama dan Dialog Antar Peradaban, cet.I (Jakarta: Paramadina, 1996), 125

[7] Azumardi Azra, “Pendidikan Kewarganegaraan Dan Demokrasi”, dalam http://www.kompas. com /%2Dcetak/0103/14/ Opini/pend04.htm.

[8] Ibid.

[9] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Ketika Pendidikan Tidak Membangun Kultur Demokrasi” prawacana untuk Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, cet.I (Yogyakarta: Bigraf, t.t), viii-ix

[10] Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional Beberapa Kritik dan Sugesti, (Jakarta: Pradya Paramita, 1997), 196-197

[11] Husaini Usmas, “Menuju Masyarakat Madani Melalui Demokratisasi Pendidikan” dalam www.depdiknas.go.id/jurnal/28/htm.

[12] Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.20 Th. 2003), (Jakarta: Dharma Bakti, 2003), 5

[13] Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Keagamaan, Manajemen Sarana & Prasarana Madrasah Mandiri, (Jakarta: t.p., 2001), 102-104

[14] M. Quraish Shihab Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran WahyudalamKehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, Cet. II, 1992), 173

[15] Ahmad Syalabi, al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Nuzhumuha, Falsafatuha, Târîkhuha, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1987), 43

[16] Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, Cet. I, 2001), 6-10

[17] Anna Poedjiadi, Sains Teknologi…98